Kamis, 27 Agustus 2015

Kawah Putih Ciwidey

Dulu, saya pernah posting tentang hobiku yang unik, koleksi batu, tapi bukan batu akik yang akhir-akhir ini menjadi tren. Hehe, baru 'ngeh' orang-orang kalau tiap jenis batu memiliki arti tersendiri. Bukan hanya indah coraknya, tapi dari mana dan bagaimana ia bisa sampai ke kita itu semua menyimpan sejarah tersendiri yang menjadikannya 'batu berharga'. Begitu juga batu dari salah satu puncak tertinggi di Kabupaten Bandung ini.
 

Nah, di sini saya tidak akan bercerita tentang batu, tapi tentang tempat romantis dari mana batu ini berasal, yaitu Kawah Putih, Ciwidey. Siapa sih yang belum kenal tempat cantik ini?
 

Alhamdulillah, saya berkesempatan mengunjungi tempat ini di tahun 2011 lalu. Entah jalur mana yang kami lewati waktu itu, pokoknya kami datang ke tempat ini dengan mengendari motor dari Cibereum, Bandung dan sampai di sini. Perlu satu jam lebih perjalanan ke sana, tapi terbayar dengan indahnya pemandangan dan suasana yang bisa dilihat sepanjang jalan.

 
Dari kejauhan, aroma belerang sudah tercium lho. Jelas banget, putihnya kawah ini ada campur tangan unsur belerang dan kapur. Batu yang di gambar pertama, sampai sekarang pun (2015) masih beraroma belerang. Face mask menjadi penolong pertama saat itu. Namun, lama kelamaan bisa adaptasi juga sih. Berikut ini sejarah Kawah Putih yang saya salin dari papan informasi yang berada di kawasan Kawah Putih.

"Gunung Patuha oleh masyarakat Ciwidey dianggap sebagai gunung yang tertua. Namun Patuha konon berasal dari kata Pak Tua (sepuh), sehingga masyarakat setempat sering kali menyebutnya dengan nama Gunung Sepuh. Lebih dari seabad yang lalu, puncak Gunung Patuha dianggap angker oleh masyarakat setempat sehingga tak seorang pun berani menginjaknya. Oleh karena itu, keberadaan dan keindahannya pada saat tersebut tidak sempat diketahui orang.

Atas dasar beberapa keterangan, Gunung Patuha pernah meletus pada abad X sehingga menyebabkan adanya kawah (crater) yang mengerikan di sebelah puncak bagian barat. Kemudian pada abad XII kawah di sebelah kirinya meletus pula, yang kemudian membentuk danau indah. Pada tahuk 1837, seorang Belanda peranakan Jerman bernama Dr. Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1964) mengadakan perjalanan ke daerah Bandung Selatan. Ketika sampai di kawasan tersebut, Junghuhn merasakan suasana yang sangat sunyi dan sepi, tak seekor binatang pun yang melintasi daerah itu. Ia kemudian menanyakan masalah ini kepada mayarakat setempat, dan menurut masyarakat, kawasan Gunung Patuha sangat angker karena merupakan tempat bersemayamnya arwah para leluhur serta merupakan pusat kerajaan bangsa jin. Karenanya, bila ada burung yang lancang berani terbang di atas kawasan tersebut, akan jatuh dan mati. Meskipun demikian, orang Belanda yang satu ini tidak begitu percaya akan ucapan masyarakat. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya menembus hutan belantara di gunung itu untuk membuktikan kejadian apa yang sebenarnya terjadi di kawasan tersebut. Namun sebelum sampai di puncak gunung, Junghuhn tertegun menyaksikan pesona alam yang begitu indah di hadapannya, dimana terhampar sebuah danau yang cukup luas dengan air berwarna putih kehijauan. Dari dalam danau itu keluar semburan lava serta bau belerang yang menusuk hidung. Dan terjawajablah sudah mengapa burung-burung tidak mau terbang melintasi kawasan tersebut.

Dari sinilah awal mula berdirinya pabrik belerang Kawah Putih dengan sebutan di jaman Belanda: Zwavel Ontginign Kawah Putih. Di jaman Jepang, usaha pabrik ini dilanjutkan dengan menggunakan sebutan Kawah Putih Kenzanka Yokoya Ciwidey, dan langsung berada di bawah pengawasan militer. Cerita misteri tentang Kawah Putih terus berkembang dari satu generasi masayarakat ke generasi masyarakat berikunya. Hingga kini mereka masih percaya bahwa Kawah Putih merupakan tempat berkumpulnya roh para leleuhur, bahkan menurut kuncen Abah Karna yang sekarang berumur sekitar 105 tahun dan bertempat tinggal di Kampung Pasir Hoe, Desa Sugih Mukti di Kawah Putih terdapat makam para leluhur, di antaranya Eyang Jaga Satru, Eyang Rangga Sadana, Eyang Camat, Eyang Ngabai, Eyang Barahak, Eyang Baskom, dan Eyang Jambrong. Salah satu puncak Gunung Patuha, Puncak Kauk, dipercaya sebagai tempat rapat para leluhur yang dipimpin oleh Eyang Jaga Satru. Di tempat ini masyarakat sesekali melihat (secara gaib) sekumpulan domba berbulu putih (domba lukutan) yang dipercaya sebagai penjelmaan dari para leluhur.

Alam pemandangan di sekitar Kawah Putih cukup indah: dengan air danau berwarna putih kehijauan, sangat kontras dengan batu kapur putih yang mengitari danau tersebut. Di sebelah utara danau berdiri tegak tebing batu kapur berwarna kelabu yang ditumbuhi lumut dan berbagai tumbuhan lainnya. Franz Wilhelm Junghuhn kini sudah lama tiada, namun penemuannya yang dikenal dengan nama Kawah Putih masih tetap anggun mempesona sampai saat ini."

Big thanks to Anita Permatasari dan Papa Nita, ya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar