Minggu, 29 November 2015

Museum Kesehatan dan Kebudayaan

Mumpung masih November, masih di bulan pahlawan, saya selesaikan cerita petualangan tungggal saya di kota pahlawan ya. Kali ini saya mau cerita tentang Museum Kesehatan.

Tidak se-famous Tugu Pahlawan memang, tapi juga tidak kalah menariknya lho dengan HoS. Surabaya punya ini museum unik, museum kesehatan, pas sejalan dengan 'bidang' saya. Sayang cuma sebentar saya di sini, tidak lebih dari 30 menit. Museum ini buka hingga pukul 15.00 dan saya tiba di sana pukul 14.30, alhamdulillah, petugas museum mengizinkan saya masuk.

Horor. Ini kesan pertama yang tergambar dari museum ini.

Saya simpulkan ada 2 ruang utama, satu ruang panjang untuk koleksi alat-alat kesehatan masa lampau dan satu ruang panjang untuk koleksi benda-benda budaya.

Di ruang kesehatan, ada berbagai macam alat yang dulu pernah digunakan di rumah sakit-rumah sakit khususnya di Surabaya. Cukup lengkap, ada berbagai peralatan obstetri-ginekologi (termasuk cunam untuk kuretase pasien abortus, ini yang paling ingat karena dijelaskan berkali-kali oleh petugasnya), ada peralatan periksa mata, telinga, dan masih banyak lagi.

slit lamp mmicroscope, alat untuk periksa mata :)


timbangan bayi jaman dulu gini bentuknyaaa



Alhamdulillah, bapak petugas museum bersedia menemani keliling museum. Alasan beliau, biar cepat karena mau tutup. Tapi kalau tidak ditemani, entah saya berani masuk atau tidak ke ruangan ini, ruang budaya.

Di sini ada berbagai koleksi hasil kebudayaan Indonesia, terutama yang berbau mistik. Misalnya, poto rontgen pasien yang di-teluk alias disantet, nampak beberapa paku di rongga thoraks dan abdomennya. Hasil operasi berupa paku dan benda tajam lainnya pun ada yang dikoleksi di sini. Lalu ada beberapa tumbuhan yang diawetkan, kabarnya tumbuhan itu memiliki khasiat bagi kesehatan. Ohya, contoh boneka jelangkung juga ada di sini. Merinding lah rasanya pas di dalam ruangan ini, entah ada energi apa di sana.

Ohya, yang paling seru di ruang budaya adalah Peta Primbon Jawa. Ini adalah peta yang digunakan sesepuh Jawa untuk menentukan tanggal baik, jodoh baik, hari baik, dan baik-baik lainnya. Kebetulan bapak petugas museum sedikit paham, saya bisa tanya-tanya juga. Sayangnya saya tidak berani ambil poto di ruangan ini, lagian sudah mau tutup museumnya, hehe


Bagi sahabat yang mau main-main kemari, lokasi museum ini di Jl. Indrapura No. 17, Surabaya. Dekat sekali dari Tugu Pahlawan. Biaya masuk museum pun relatif murah, Rp1.500,00 saja. Nah, di akhir menulis paragraf ini, tetiba saya ingat Pak Karno pernah pesan, JAS MERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah yaaa

Rabu, 18 November 2015

Tugu Pahlawan dan Museum Sepuluh Nopember

Masih di Kota Pahlawan. Setelah dari HoS, saya melanjutkan rute tur sejarah ke Tugu Pahlawan. Ternyata satu lokasi dengan Museum Sepuluh Nopember dan tidak jauh dari HoS, dengan beca saya memerlukan waktu sekitar 10 menit dari HoS. Saat itu hujan lebat mengguyur Kota Pahlawan. Namun, ini tidak bisa menghentikan langkah saya untuk tetap mengunjungi tempat bersejarah ini.

Masuk saja saya ke area Tugu Pahlawan. Dengan sedikit basah karena hujan, saya mengendap-endap berjalan mencoba mendekat pintu masuk museum. Alhamdulillah, sampai juga.

Secuil ceritanya sudah saya ceritakan di posting '10 November'. Berikut beberapa poto miniatur dan benda yang menarik versi saya sih ya.

Tampak depan area Tugu Pahlawan, Surabaya


Miniatur suasana ketika Bung Tomo orasi 'Merdeka atau Mati'


Miniatur peristiwa perobekan bendera merah-putih-biru menjadi merah-putih


Pistol Bius: bukti tim kesehatan berperan di Battle of Surabaya lainnya juga ada di Museum Sepuluh Nopember, Surabaya

Akhirnya Tiba Waktunya

Setelah beberapa waktu menunggu jadwal keberangkatan, akhirnya tiba saatnya. Hari perpisahan dan pertemuan. Perpisahan dengan orang-orang terdekat dan pertemuan dengan kawan seperjuangan satu tahun ke depan.

16 November 2015. Berangkat dari Lahat, Sumatera Selatan. Ini hari perpisahan terberat bagiku (sambil menitikkan air mata nih). Untuk pertama kalinya sejauh dan selama ini dari orang tua. Walaupun sudah lama di Palembang, jauh dari Lahat, tapi suasananya beda, entahlah kenapa. Ini cuma sementara kok, kami akan berkumpul lagi, insyaAllah.

17 November 2015. Inilah hari keberangkatan. Jadwal take off dari Bandara SMB II pukul 06.45, tapi karena alasan cuaca buruk, ditunda sampai sekitar pukul 08.00. Padahal penerbangan ke Balikpapan terjadwal 08.50 itu artinya kami rombongan wong plembang ditinggal karena otomatis bakal telat sampai Cengkareng. Oke. Setelah di Bandara Soeta Cengkareng, memang sudah berangkat pesawat yang dimaksud. Kami dipindah ke pesawat jadwal terdekat, pukul 10.15. Alhamdulillah, 13.30 WITA kami sudah tiba di Bandara Sepinggan, Balikpapan. Sudah beda satu jam lebih awal nih. Seolah harinya jadi 23 jam, hahaha.

Ada alhamdulillah-nya juga pesawat delay. Ternyata dari tadi teman-teman dari pesawat pertama ituh masih menunggu angkutan ke hotel. Alhamdulillah-nya, pas kami keluar, pas angkutan sudah siap, dan kami langsung ke hotel, Hotel Menara Bahtera. Lokasinya deket banget sama Balikpapan Center, mall terbesar di Balikpapan.

Belum ada yang dikenali selain wong plembang. Tapi inilah awal pertemuan. Satu hal yang baru disadari, menemukan orang berdasarkan poto itu susah ya ternyata, hehe. Teman satu wahana yang pertama kali teridentifikasi adalah koordinator wahana alias sang ketua, Dimas. Setelah itu mulai terlihat Fanny, Tara, Sonya, Cici, Nur, Ii, dan Runi. Selebihnya (Vita, Aiko, Vivi, Tere, Sarah, Febby, Sandy, Refky), kami bertemu di 18 November 2015. Senang bertemu kalian semua, semoga kita aman damai sejahtera selama dan setelah internsip yak.

Rombongan Wong Plembang (dari kiri): Revan, Feby, saya, Agitha, Hafiz

Kamis, 12 November 2015

House of Sampoerna

Tentang Kota Pahlawan, Surabaya, alhamdulillah, saya sempat mampir di sini walaupun hanya dua hari. Waktu itu, Maret 2015. Malam hari tiba dari Palembang, esoknya jalan, dan lusanya lanjut perjalanan lagi.

Awalnya mau jalan ditemani seorang kakak kelas, tapi di detik-detik waktu yang ditentukan, beliau menghilang tanpa kabar. Saya cuma bisa berdoa semoga beliau dalam keadaan baik selalu. Akhirnya saya jalan sendirian dan sebenarnya saya sangat buta tempat ini, maklum inilah pertama kalinya pengalaman saya menginjakkan kaki di kota Surabaya. Alhamdulillah ada google map yang setia menemani.

Kali ini tema kunjungan saya ke kota pahlawan adalah wisata sejarah. menurut kakak kelas saya itu, ada beberapa tempat yang beliau rekomendasikan, seperti Tugu Pahlawan, Museum Sepuluh Nopember, dan House of Sampoerna. Saya googling, ada satu tempat lagi yang sejalan dengan diri saya, yaitu Museum Kesehatan. Semuanya ada di tengah kota Surabaya, Kota Pahlawan.

Tujuan pertama saya adalah House of Sampoerna (HoS). Saya pilih ini yang pertama karena kabarnya ada pertunjukan yang hanya bisa dilihat di bawah jam 13. Pertunjukan apa? Jujur, sebelum masuk ke HoS, saya tidak tahu ini tempat apa. Hanya sedikit info, katanya di sana bagus, sudah, begitu saja.

Ternyata eh ternyata, ini seperti museum sejarah berdirinya perusahaan rokok Sampoerna. MasyaAllah. Pendirinya berdarah Tiongkok yang berawal dari berjualan 'biasa' di pasar Surabaya. Gigih berusaha hingga akhirnya sampai generasi ke-sekian seperti yang kita kenal sekarang. Jadi ingat iklannya di televisi, 'Sampoerna, teman yang asyik'.

Menuju lokasi ya. Ada beberapa bangunan di komplek HoS. Di depan, saya disamput beberapa security berwajah sangar bersuara lembut dan baik hati. Saya diarahkan ke gedung utama. Saya bingung, saya pikir ini tempat wisata yang notabene bakal ada biayanya, eh ternyata di sini tidak ada tiket masuk, alias gratis. Segera saya menuju tempat yang ditunjuknya. Hehehe.

Ketika pintu utama dibuka, serasa masuk rumah sendiri, seeeeng, aroma kental tembakau semerbak cepat memenuhi rongga hidung. Di sini saya disambut beberapa mbak cantik berparfum tembakau, eh, bukan, di ruangan ini ada dipamerkan perjalanan hidup pendiri Sampoerna dan beberapa contoh tembakau dan cengkeh. Wajar tembakau banget. Di ruangan lebih dalam ada beberapa alat pengolah tembakau masa lampau, koleksi tembakau dari berbagai belahan dunia, dan koleksi produk Sampoerna dari awal hingga yang terkini.

Selanjutnya saya naik ke tingkat dua, masih di bangunan utama. Di sini dijual beberapa produk HoS, yaaa bisa dijadikan oleh-oleh atau sekedar kenang-kenangan sudah pernah berkunjung kemari. Ruangan ini dibatasi kaca besar dengan stiker kamera coret. Ada apa?

Saya menengok ke arah kaca, waw, ini menakjubkan. Saya melihat ratusan ibu-ibu pelinting rokok sedang bekerja, hampir seribu jumlahnya. Inilah yang dikabarkan pertunjukan tadi. Gerakan mereka sangat cepat dan ritmik, seperti kumpulan robot hidup saja. Seorang pekerja diberi tugas menghasilkan minimal 50 linting rokok dalam waktu satu menit selama tujuh jam sehari. Bayangkan berapa juta linting rokok yang bisa dihasilkan dalam satu hari, diproduksi tiga shift setiap hari, dan habis laku di pasaran. Ini baru satu pabrik simulasi, bukan pabrik rokok Sampoerna yang utama. Lama saya termenung di sini memperhatikan mereka bekerja. Selama ini saya pikir cara terbaik gerakan stop rokok adalah menutup pabrik rokok itu sendiri. Lalu, bagaimana nasib ribuan pekerja di sini, makan apa nanti mereka. Ya sudah, saya pikir inilah siklus kehidupan.

Lanjut ya. Setelah puas melihat pertunjukan ini, saya menuju gedung lainnya. Ada galeri seni. Berbagai lukisan cantik dipamerkan. Beberapa sempat saya poto.

Tidak terasa saat itu sudah lewat Zuhur. Saya harus lanjutkan perjalanan. Lagi, saya bingung, kemana dan gimana. Saya tanya pak security, saya mau ke Tugu Pahlawan. Segera dipanggilkan beca. Saya diingatkan untuk hati-hati karena sendirian dan orang asing di sana. Baiklah pak, terima kasih. Saya lanjut ke Tugu Pahlawan.

Selasa, 10 November 2015

Islam Warnai Orasi Bung Tomo

Tidak ada yang memungkiri, orasi Bung Tomo, 10 November 1945, sangat mencerminkan jiwa bangsa ini. Orasi ini adalah perwakilan suara rakyat Indonesia yang ingin merdeka dan selalu merdeka. Istimewa, karena di balik sosok beraninya Bung Tomo, beliau tetap religius, menjunjung Islam dalam setiap langkahnya. Allahuakbar!

Ini tercermin dari orasi yang melegenda tersebut. Berikut saya kutip penggalan orasi yang dimaksud.



Bagaimana menurutmu?



10 November

Ini tanggal bersejarah bagi negeri ini. Di tanggal ini 70 tahun yang lalu, dunia menjadi saksi bahwa bangsa ini tak mau dijajah. Hanya ada dua pilihan, merdeka atau mati. Semboyan ini dideklarasikan oleh seorang pahlawan nasional, Sutomo, atau yang lebih akrab dikenal dengan Bung Tomo.

Sejak dari bangku sekolahan, saya kenalnya Bung Tomo ini punya sejarah aksi heroik merobek bendera. Ternyata, aksi heroik Bung Tomo bukan hanya sekedar merobek bendera merah-putih-biru di atas Hotel Yamato menjadi bendera merah-putih. Bung Tomo ini orator hebat, entah berapa kali beliau orasi membakar semangat anak bangsa ini. Dari sekian pidatonya itu, ada sebuah pidato yang diabadikan di Museum Sepuluh November, Surabaya. Ini pidato yang paling melegenda.

Saya membaca teks ini setelah puluhan tahun kata-kata tersebut diucapkan. Waktu tidak bisa membatasi sebaran energi semangat Bung Tomo. Saat membaca ini, campur aduk rasanya, antara terharu, bangga, sedih, semangat, dan malu.

Terharu, karena kakek-nenek kita dulu sebegitu semangat mempertahankan dan merebut kemerdekaan ini. Bangga, karena kakek-nenek kita dulu berani sekali melawan penjajah dengan segala keterbatasan saat itu. Sedih, karena saya yakin ada ribuan kakek-nenek kita juga yang gugur di pertempuran, bahkan namanya pun ada yang tak diketahui. Semangat, jelas, ini seruan untuk semua pemuda Indonesia untuk selalu bangkit lebih baik dan terus berjuang meng-eksis-kan Indonesia. Malu, di usia sekian, setelah puluhan tahun berlalu, sudah berapa banyak yang telah-sedang-akan kita -baca: saya- lakukan untuk bangsa ini?

Di hari ini, mengingat kembali 10 November, saya ingin mengutip sebuah kalimat dari orasi Bung Tomo ini,
"Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyau darah merah yang dapat membikin secarik kertas kain putih merah dan putih maka selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapa pun juga"

Inilah Indonesia, selamat hari pahlawan, selamat menjadi pahlawan baru bagi Indonesia!

Jumat, 06 November 2015

TPA Darussalam (2)

Melanjutkan cerita yang lalu tentang TPA Darussalam...

Agustus 2015 saya melihat kembali secara langsung TPA ini. Menyenangkan, santri tetap buanyak, tempat belajar-mengajar mengaji semakin nyaman, dan ada beberapa program tambahan selain belajar membaca Alquran, seperti program hapalan juz Amma. Namun, di balik itu, tetap saja ada satu masalah yang cukup sulit.

Saat saya belajar di sana, tahun 2000-an, baik santri maupun tim pembimbing (ust/ustadzah) seimbang dari segi kuantitas. Satu ust/ustadzah rerata membimbing satu kelompok yang terdiri dari sekitar 10 orang. Jumlah tim pembimbing pun banyak, jika ditotal lebih dari 20 orang. Saat ini...

Ya, saat ini terjadi sedikit pergeseran. Mungkin jumlah santri rerata sama setiap tahun, tetapi tim pembimbing berkurang drastis. Ada yang berumah tangga dan pindah mengikuti suami, ada yang mengurus bayi karena baru melahirkan, ada yang kerja di jam-jam belajar TPA. Semua kesibukan ini jadi membatasi kesempatan membimbing anak-anak belajar mengaji. Hingga akhirnya saat ini jumlah tim pembimbing tinggal 8 orang.

Jika dilihat dari penghasilan, ya Allah, sungguh ikhlas guru-guru kami ini. Di tengah kesibukan lain, mereka masih sempatkan diri membimbing anak-anak belajar mengaji. Tidak mengharap income yang 'wah' pula. Kata Bu Hayati, salah seorang ustadzah, "Biar aja kita tidak dapat gaji berupa duit, nanti mah bakal dibayar dengan surga oleh Allah, aaaaaamiin".

Inilah motivasi mereka, investasi jangka panjang, surganya Allah. Karena sebaik-baik manusia adalah yang belajar dan mengajarkan Alquran, karena ilmu yang bermanfaat ini kelak akan menjadi amal jariyah yang tak terputus aliran pahalanya, karena janji Allah siapa yang menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongnya.

Kurang dari 2 minggu lagi saya berada di TPA ini, entah akan ada kesempatan lagi atau tidak di kemudian masa untuk bergabung menjalankan belajar-mengajar mengaji di sini lagi. Di balik itu semua saya mah yakin TPA Darussalam ini bakal semakin banyak mencetak generasi rabbani, semakin terdepan menyiapkan muda-mudi Perumnas Selawi yang Islami, dan semakin sejahtera masjid kesayangan, Masjid Darussalam.